BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Telah dikukuhkan oleh para linguist bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetik hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu. Bahasa hidup berada di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya.
Bahasa dan budaya adalah dua bentuk hasil pemikiran manusia. Banyak ahli yang mengemukakan teorinya mengenai kaitan antara bahasa dan budaya, salah satunya Willem von Humboldt seorang filosof Jerman. Menurutnya “language by its very nature represents the spirit and national character of a people (bahasa adalah repesentasi/perwujudan semangat alami dan karakter nasional masyarakat)”(Steinberg dkk, 2001: 244). Humboldt yakin setiap bahasa di dunia pasti merupakan perwujudan budaya dari masyarakat penuturnya. Jadi, pandangan yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa tertentu akan tercermin atau terwujud dalam bahasanya. Dan ternyata pendapat Humboldt juga didukung oleh para linguis ternama seperti Edward Sapir (1929) dan Alfred Korzybski (1933).
Bahasa merupakan produk budaya. Bahasa adalah wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya. Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat. Berbagai pendapat para ahli mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan membuat tema ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sehingga pada akhirnya dapat melahirkan teori-teori baru mengenai hubungan keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
a. Bahasa
Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli:
- menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan.
- Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements.
- Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.
Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.
b. Budaya
Budaya merupakan sebuah istilah yang sangat luas. Dan oleh keluasan itu, maka dapat ditemukan banyak sekali definisi. Di sini yang dimaksud dengan budaya bukan budaya dalam arti seni seperti musik, sastra atau seni rupa. Istilah budaya disini merupakan pengetahuan yang harus diketahui oleh seseorang yang hidup dalam masyarakat yang tertentu. Goodenough (di dalam Wardhaugh, 1992) menegaskan definisi ini: “a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and to do so in any role that they accept for any one of themselves” (budaya masyarakat terdiri dari apa pun yang kita harus tahu atau percaya agar dapat beroperasi dengan cara yang dapat diterima oleh anggotanya, dan untuk melakukannya dalam peran apapun yang mereka terima untuk salah satu dari mereka sendiri).
Wardhaugh (1992) sendiri mengatakan: “Culture, therefore, is the ‘knowledge’ how that person must possess to get through the task of daily living.” (budaya adalah 'pengetahuan' bagaimana orang itu harus memilikinya untuk didapatkkan melalui tugas sehari-hari.)
Definisi di atas belum terlalu memperhatikan aspek bahasa dalam kaitan dengan budaya. Hall (1997, h 2) memberikan definisi yang lebih jelas dan lebih dapat digunakan dalam bidang sosiolinguistik: “To say that two people belong to the same culture is to say that they interpret the world in roughly similar ways and can express themselves, their thoughts and feeling about the world, in ways which will be understood by eachother”.( Dua orang dikatakan memiliki budaya yang sama apabila mereka menafsirkan dunia dengan cara yang kurang lebih sama dan dapat mengekspresikan diri, pikiran dan perasaan tentang dunia, dengan cara-cara yang akan dipahami oleh masing-masing)
Kita tahu bahwa kelebihan manusia adalah berfikir dan kemampuan untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Selama dekade terakhir ini ada perdebatan sengit antara bahasa dan pikiran. Ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran adalah suatu identitas yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagian lagi ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak orang yang mendukung mengenai pendapat kedua ini. Salah satu gagasan yang terkenal mengenai hubungan antara perbedaan bahasa secara antar budaya adalah hipotesis Sapir – Whorf yang sering disebut tesis Whorfian. Dalam bagian berikut hipotesis tersebut akan dijelaskan lebih ringkas.
B. Hipotesis Whorfian
Edward Sapir adalah seorang antropolog linguistik yang mengajar di Universitas Yale, Sapir berpendapat bahwa bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan seperti koin yang tidak dapat dipisahkan diantara kedua gambarnya.
Budaya merupakan sebuah realitas yang ditentukan dengan bahasa, dan bahasa adalah sesuatu yang diwariskan secara kultural. Namun demikian, Sapir lebih menekankan bahwa bahasa yang menjadi penentu cara persepsi kita akan kenyataan. Lebih lanjut, Sapir menegaskan pendapatnya dengan menyatakan, bahwa ketika suatu komunitas sosial dihilangkan dari hidup seseorang individu, maka individu itu tidak akan pernah dapat belajar untuk berbicara, artinya mengkomunikasikan ide sesuai dengan tradisi dari masyarakat tertentu.
Sapir memandang bahwa kajian-kajian dalam Linguistik yang umumnya berkisar tentang pemahaman mengenai simbol, istilah atau terminologi Linguistik sebaiknya mulai beralih dan lebih terfokus kepada upaya memahami elemen-elemen bahasa yang menunjang terjadinya kesepahaman antara pengujar dan pendengar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sapir –yang berbeda dengan Sausurre – yang menyatakan bahwa bahasa itu ada sejauh penggunaannya. Dikatakan dan didengar, ditulis dan dibaca.
Sedangkan Benjamin L. Whorf adalah seorang ahli, yang dikenal Sapir lewat kuliahnya yang diikuti Whorf. Karena minatnya sangat besar dalam bahasa, maka Whorf pun melakukan penelitian, antara lain tentang bahasa Indian Hopi.
Para peneliti membagi hipotesis Whorfian menjadi dua bagian, yaitu :
1. Determinisme Linguistik
Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma-norma budaya. Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasikan juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai budaya.
2. Relativitas Linguistik
Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan.
1. Determinisme Linguistik
Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma-norma budaya. Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasikan juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai budaya.
2. Relativitas Linguistik
Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan.
Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita. “Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula”
Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial. Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain orang-orang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, dan lain sebagainya cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya penekanan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain sebagainya.
Whorf menemukan dalam pekerjaan sebagai insinyur dalam bidang pencegahan kebakaran bahwa penutur dalam bahasa Inggris menandaikan tempat untuk bahan bakar (drigen bensin) dengan “full” atau “empty”. Whorf mengatakan bahwa implikasinya kata empty membuat orang disekitar drigen bensin itu kurang hati-hati. Padahal botol atau drigen bensin yang “empty” sebenarnya penuh dengan gas dan dapat menyebabkan ledakkan yang jauh lebih bahaya daripada drigen yang penuh bensin. Whorf berpendapat bahwa struktur dalam bahasa kita dapat mempengaruhi perilaku kita.
Dalam kajiannya dengan bahasa Hopi, sebuah bahasa pribumi di Amerika, Whorf membandingkan bahasa tersebut dengan yang dia sebut “Standard Average Eropean” (SAE) yaitu bahasa Inggris, bahasa Pirancis dan bahasa Jerman. Dia menemukan perbedaan antara istilah untuk orientasi dan waktu dalam pembandingan tersebut dan menyimpulkan bahwa karena ada perbedaan tersebut, persepsi penutur Hopi juga berbeda dengan persepsi penutur SAE.
Ketika kita melihat kaitan antara bahasa dan budaya dengan pandangan Whorf, berarti bahasa memfasilitasi sebuah filter untuk realitas kita. Bahasa mendeterminasi bagaimana penutur memperoleh dan mengorganisasi dunia alami dan dunia sosial yang ada di sekitar mereka.
Pada hipotesis Whorfian muncul pendukung maupun banyak orang linguist yang mengkritik hipotesis tersebut. Linguist yang mendukung Whorf mengatakan bahwa memang ketika ada sebuah istilah khusus dalam suatu bahasa maka untuk penutur lebih mudah untuk meracu pada istilah itu.(lht. Wardhaugh, 222- 223) Sebagai contohnya istilah “latah” tidak ada dalam bahasa Jerman.
Linguist yang mengkritisiasi hipotesis Whorf katakan bahwa ketika hipotesisnya benar, maka tidak ada kemungkinan untuk menjelaskan istilah yang khusus itu dalam sebuah bahasa dimana istilah tersebut tidak ada. Kita harus menganggap bahwa semua bahasa memiliki sumber linguistik seperlunya yang memungkinkan penuturnya untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan.
C. SISTEM KEKERABATAN
C. SISTEM KEKERABATAN
Suatu cara yang menarik untuk diteliti dimana manusia menggunakan bahasa adalah dalam hidup sehari-hari ketika merujuk terhadap kekerabatan. Oleh karena sistem kekerabatan memiliki kebersamaan dalam semua bagian dunia ini, tetapi manusia menggunakan sistem berbeda untuk berbicara tentang kekerabatan mereka. Tentang topik ini ada banyak literatur dan kajian. Beberapa sistem jauh lebih kaya daripada sistem lain dan peraturannya berbeda-beda. Dalam bahasa Jerman misalnya, istilah untuk “brother” dan “sister” hanya digunakan untuk kakak atau adik laki-laki atau perempuan, sangat berbeda dengan bahasa Indonesia, dimana istilah kakak/adik juga dapat digunakan dalam hubungan sosial yang lain, yang tidak semestinya merancu pada hubungan dalam keluarga.
Dalam berbagai system kekerabatan hubungan yang berbeda kadang-kadang dikasih istilah yang sama dan kadang-kadang hubungan yang similar ditandai dengan istilah berbeda. Untuk mengerti kenapa system itu bisa berbeda-beda, harus ada pengetahuan tentang kebudayaan penuturnya. Dengan perubahan sistem kebudayaan dapat disimpulkan bahwa sistem kekerabatan juga akan berubah dan mereflek perubahan tersebut.
D. MULTIKULTURALISME
D. MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Pengertian multikulturalisme menurut beberapa ahli:
Pengertian multikulturalisme menurut beberapa ahli:
“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174).
Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
E. HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).
Bahasa merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu dimengerti, dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti bahasa pengantar kebuadayaan tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa kebudayaan lahir karena bahasa, tanpa bahasa tidak akan pernah ada budaya.
Meski begitu ternyata bahasa suatu masyarakat ternyata sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya. Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Contohnya dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Jadi, kata rice dalam Bahasa Inggris mengacu kepada nasi, beras, gabah, dan padi dalam Bahasa Indonesia. Variasi dalam Bahasa Indonesia itu disebabkan karena kedekatan masyarakat Indonesia dengan nasi sebagai makanan pokoknya yang merupakan bentuk budaya masyarakat Indonesia.
Contoh lain misalnya, dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin yaitu brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia yaitu yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Kebudayaan Inggris tidak memandang saudara berdasarkan usia namun berdasarkan jenis kelamin berlawanan dengan kebudayaan Indonesia yang lebih mementingkan segi usia. Ini dikarenakan kebudayaan santun masyarakat Indonesia lebih kental dibanding masyarakat Inggris pada umumnya.
Pendapat senada dikatakan oleh Levi-Strauss (dalam Sibarani 1992:104). Menurutnya, bahasa adalah hasil kebudayaan. Dalam hal ini berarti kebudayaan mempengaruhi bahasa seperti halnya pada contoh-contoh di atas. Bahasa merupakan refleksi seluruh kebudayaan dari sebuah masyarakat. Contohnya dapat kita lihat jika kita membandingkan bahasa Sunda dengan bahasa Jawa, yaitu sebagai berikut:
Bahasa Sunda Bahasa Jawa
Amis : manis Amis : amis
Gedang : papaya Gedhang : pisang
Raos : enak Raos : rasa
Atos : sudah Atos : keras
Cokot : ambil Cokot : gigit
Kata dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa meskipun bentuk dan ejaannya sama namun berbeda artinya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar budaya yang mempengaruhi arti tersebut. Tata cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat berpengaruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu memahami norma-norma kebudayaan sebelum atau selain mempelajari bahasa (Hodidjah, artikel hlm. 6).
Pandangan berbeda terungkap dari teori Sapir-Whorf. Teori ini mengungkapkan bahwa bahasa mempengaruhi budaya. Mereka mengatakan demikian karena apa yang diungkapkan pengguna bahasa mencerminkan kebiasaan si penutur. Dalam teori Sapir-Whorf, kebiasaan tersebut timbul dari bahasa sehingga ia menegaskan bahwa bahasa mempengaruhi budaya (kebiasaan). Sayangnya teori ini dianggap lemah untuk saat ini, karena fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa kebudayaanlah yang mempengaruhi bahasa.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain justru sebaliknya.
Kita dapat mengekspresikan perasaan dan budaya kita dengan komunikasi kita, tidak hanya dengan menggunakan tetapi bisa jadi menggunakan gerakan. Namun di berbagai negara gerakan dapat diinterpretasikan dalam cara yang berbeda, sehingga, menurut saya, lebih baik menggunakan bahasa khusus daripada gerakan agar tidak membuat orang lain frustrasi.
Oleh karena itu, apa yang kita sebut budaya dan bahasa terkait satu sama lain, bahwa kita tidak bisa memisahkan mereka dari satu sama lain.
Jadi, kenapa budaya itu beda? Mengapa ia penting? Karena: budaya adalah kehidupan yang kita representasikan; ia adalah bagian dari identitas kita; cara hidup yang unik; kebiasaan kita, ritme kita, makanan kita; dan tentu saja, budaya adalah bahasa kita!
Bahasa ditentukan oleh budaya. Setiap budaya memiliki bahasanya sendiri, alat untuk berekspresi. Bahasa adalah jalan dalam peta budaya. Bahasa memberitahu anda, dari mana seseorang berasal, dan kemana mereka akan pergi. Bahasa sangat penting untuk memahami perspektif budaya kita yang unik. Bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan. Bahasa adalah budaya dan budaya adalah bahasa.
Kita, para calon guru bahasa, sebaiknya mengajarkan bahasa pada siswa kita dengan budaya berperilaku kita yang baik!
Rosihan, Ari. “Hubungan Bahasa dan Budaya” online (http://halamantian.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html) diakses, 26 Maret 2014.
Raya. “Hubungan Bahasa dengan Budaya” online (http://rayapost.blogspot.com/2009/04/hubungan-bahasa-dengan-budaya_18.html) diakses, 26 Maret 2014.
Ambar. “Bahasa dan Budaya” online (http://ambarmizu2013.wordpress.com/bahasa-dan-budaya/) diakses, 26 Maret 2014.
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
E. HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).
Bahasa merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu dimengerti, dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti bahasa pengantar kebuadayaan tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa kebudayaan lahir karena bahasa, tanpa bahasa tidak akan pernah ada budaya.
Meski begitu ternyata bahasa suatu masyarakat ternyata sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya. Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Contohnya dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Jadi, kata rice dalam Bahasa Inggris mengacu kepada nasi, beras, gabah, dan padi dalam Bahasa Indonesia. Variasi dalam Bahasa Indonesia itu disebabkan karena kedekatan masyarakat Indonesia dengan nasi sebagai makanan pokoknya yang merupakan bentuk budaya masyarakat Indonesia.
Contoh lain misalnya, dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin yaitu brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia yaitu yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Kebudayaan Inggris tidak memandang saudara berdasarkan usia namun berdasarkan jenis kelamin berlawanan dengan kebudayaan Indonesia yang lebih mementingkan segi usia. Ini dikarenakan kebudayaan santun masyarakat Indonesia lebih kental dibanding masyarakat Inggris pada umumnya.
Pendapat senada dikatakan oleh Levi-Strauss (dalam Sibarani 1992:104). Menurutnya, bahasa adalah hasil kebudayaan. Dalam hal ini berarti kebudayaan mempengaruhi bahasa seperti halnya pada contoh-contoh di atas. Bahasa merupakan refleksi seluruh kebudayaan dari sebuah masyarakat. Contohnya dapat kita lihat jika kita membandingkan bahasa Sunda dengan bahasa Jawa, yaitu sebagai berikut:
Bahasa Sunda Bahasa Jawa
Amis : manis Amis : amis
Gedang : papaya Gedhang : pisang
Raos : enak Raos : rasa
Atos : sudah Atos : keras
Cokot : ambil Cokot : gigit
Kata dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa meskipun bentuk dan ejaannya sama namun berbeda artinya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar budaya yang mempengaruhi arti tersebut. Tata cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat berpengaruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu memahami norma-norma kebudayaan sebelum atau selain mempelajari bahasa (Hodidjah, artikel hlm. 6).
Pandangan berbeda terungkap dari teori Sapir-Whorf. Teori ini mengungkapkan bahwa bahasa mempengaruhi budaya. Mereka mengatakan demikian karena apa yang diungkapkan pengguna bahasa mencerminkan kebiasaan si penutur. Dalam teori Sapir-Whorf, kebiasaan tersebut timbul dari bahasa sehingga ia menegaskan bahwa bahasa mempengaruhi budaya (kebiasaan). Sayangnya teori ini dianggap lemah untuk saat ini, karena fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa kebudayaanlah yang mempengaruhi bahasa.
BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain justru sebaliknya.
Kita dapat mengekspresikan perasaan dan budaya kita dengan komunikasi kita, tidak hanya dengan menggunakan tetapi bisa jadi menggunakan gerakan. Namun di berbagai negara gerakan dapat diinterpretasikan dalam cara yang berbeda, sehingga, menurut saya, lebih baik menggunakan bahasa khusus daripada gerakan agar tidak membuat orang lain frustrasi.
Oleh karena itu, apa yang kita sebut budaya dan bahasa terkait satu sama lain, bahwa kita tidak bisa memisahkan mereka dari satu sama lain.
Jadi, kenapa budaya itu beda? Mengapa ia penting? Karena: budaya adalah kehidupan yang kita representasikan; ia adalah bagian dari identitas kita; cara hidup yang unik; kebiasaan kita, ritme kita, makanan kita; dan tentu saja, budaya adalah bahasa kita!
Bahasa ditentukan oleh budaya. Setiap budaya memiliki bahasanya sendiri, alat untuk berekspresi. Bahasa adalah jalan dalam peta budaya. Bahasa memberitahu anda, dari mana seseorang berasal, dan kemana mereka akan pergi. Bahasa sangat penting untuk memahami perspektif budaya kita yang unik. Bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan. Bahasa adalah budaya dan budaya adalah bahasa.
Kita, para calon guru bahasa, sebaiknya mengajarkan bahasa pada siswa kita dengan budaya berperilaku kita yang baik!
Sumber Acuan
Rosihan, Ari. “Hubungan Bahasa dan Budaya” online (http://halamantian.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html) diakses, 26 Maret 2014.
Raya. “Hubungan Bahasa dengan Budaya” online (http://rayapost.blogspot.com/2009/04/hubungan-bahasa-dengan-budaya_18.html) diakses, 26 Maret 2014.
Ambar. “Bahasa dan Budaya” online (http://ambarmizu2013.wordpress.com/bahasa-dan-budaya/) diakses, 26 Maret 2014.
0 Komentar